Sabtu, 16 Juli 2011

Membumikan Pendidikan Nilai


PEMBAHASAN
   A.  Membangun manusia dengan memanusiakan manusia
Tujuan manusia adalah memanusiakan manusia muda[1]. Inilah sejatinya pendidikan nilai menurut N. drikarya. Pendidikan nilai hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin “penuh” sebagai manusia), berguna dan berpengaruh didalam masyarakatnya, bertanggung jawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus memiliki watak atau keutamaan yang paling luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian, namun tetap humanis.
Ada beberapa literatur pendidikan dalam model pembelajaran yang berbasis Human being yakin: humanizing of the classroom, active learning, quantum learning, quantum teaching dan the accelerated learning[2].
Humanizing of the classroom dilatar belakangi oleh kondisi sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri.kasus ini banyak terjadi di amerika serikat dan jepang. Humanizing of classroom dicetus oleh John P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan afektif”. Model ini bertumpu pada tiga hal:
1.         Menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah
2.         Mengenali konsep dan identitas diri
3.         Menyatu padukan kesadaran hati dan pikiran.
Active learning dicetus oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis atau penyampaian informasi kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari gagasan-gagasan, memecahkan masalah dan menerapkan apa yang mereka pelajari. Dalam active learning, cara belajar dengan mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengar dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengar, melihat dan mendiskusikan siswa lain akan paham, dengan cara mendengar, melihat, diskusi dan melakukan akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran yang terbagus adalah dengan mengajarkan.
Salah satu konsep quantum learning ini adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan lebih besar dan terekam dengan baik.
Sedangkan quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral.model pembelajaran ini bersandar pada asas utama “bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka”. Dengan demikian, merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan dan bahasa tubuh) disamping pengetahuan, sikap dan keyakinan sebelumnya, serta persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya, diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).
The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat. Pada konsep pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara cepat, menyenangkan dan memuaskan.
Manusia adalah makhluk multimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Biasanya para ilmuan melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohanianya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dann politik.
Howard Garner[3] menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurut dia, paling tidak manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu:
1.         Kecerdasan matematis/logis                            6. Kecerdasan visual/ruang/spasial
2.         Kecerdasan verbal/bahasa                               7. Kecerdasan intrapersonal.
3.         Kecerdasan interpersonal
4.         Kecerdasan fisik/gerak/badan
5.         Kecerdasan musical/ritme
Menurut saya memanusiakan manusia adalah memanusiakan manusia muda untuk menjadi menusia yang insan kamil atau menjadi manusia seutuhnya.

B.  Prinsip-prinsip Pembelajaran Nilai
Pendekatan atau model pembelajaran tradisional cenderung berasumsi bahwa siswa memiliki kebutuhan yang sama dan belajar dengan cara yang sama pada waktu yang sama, dalam ruangan kelas yang tenang, dengan kegiatan materi pembelajaran yang stuktur secara ketat dan didominasi oleh guru. Pendekatan pembelajaran yang dapat dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut diidentifikasikan sebagai berikut:
1.      Libatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran
2.      Dasarkan pada perbedaan individu
3.      Kaitkan teori dengan praktik
4.      Kembangkan komunikasi dan kerja sama dalam belajar
5.      Tingkatkan keberanian siswa dalam mengambil resiko dari kesalahan
6.      Tingkatkan pembelajaran sambil berbuatdan bermain
7.      Sesuaikan pelajaran dengan taraf perkembangan kognitif yang masih pada taraf operasi konkrit.
Martorella dalam buku Djahiri[4]. Mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikannilai atau budi pekerti, yaitu:
a)      Evocation, yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap stimulus yang diterimanya;
b)      Inculcation, yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang diarahkan menuju kondisi siap;
c)      Moral Reasoning, yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual talksonomik tinggi dalam mencari permasalahan suatu masalah;
d)     Value Clarification, yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral;
e)      Value Analysis, yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan analisis nilai moral;
f)       Moral Awareness, yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu;
g)      Commitment Approach, yaitu pendekatan pada siswa sejak awal diajak menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai;
h)      Union Approach, yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.
Teknik pengungkapan nilai adalah teknik memandang pendidikan nilai dalam pengertian promoting self-awarenes and self caring dan bukan mengatasi masalah moralyang membantu mengungkapkan moral yang dimiliki peserta didik tentang hal-hal tertentu. Pendekatannya dilakukan dengan cara membantu peserta didik menemukan dan menilai / menguji nilai yang mereka miliki untuk mencapai perasaan diri.
Model analisis nilai adalah model yang membantu peserta didik mempelajari pengambilan keputusan melalui proses langkah demi langkah dengan cara yang sangat sistematis. Model ini akan memberi makna bila dihadapkan pada upaya menangani isu-isu kebijakan yang lebih kompleks.
Perkembangan kognitif moral adalah model yang membantu peserta didik berpikir melalui pertentangan dengan cara yang lebih jelas dan menyeluruh melalui tahapan-tahapan umum dari pertimbangan moral.
Namun demikian, Model pendekatan pendidikan nilai yang populer sesuai dengan kajian superka (A typology of theories and value education approaches)[5], ada delapan pendekatan pendidikan nilai berdasarkan kepada berbagai literatur dalam bidang psikologi, sosiologi dan pendidikan yang berhubungan dengan nilai, yang kemudian alasan-alasan teknis dalam prktek pendidikan, pendekatan-pendekatan tersebut diringkas menjadi lima yaitu:
1)      Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach)
2)      Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach)
3)      Pendekatan analisis nilai (value analisis approach)
4)      Pendekatan klarifikasi nilai (value clarification approach)
5)      Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).
Kelima model pendekatan nilai tersebut dibangun atas dasar teori perkembangan nilai anak, sebagaimana dikembangkan oleh Norman J.Bull[6] yang menyatakan ada empat tahapan perkembangan nilai yang dilalui seseorang. Pertama, tahapan anatomi yaitu tahapan nilai baru merupakan potensi yang siap dikembangka. Kedua, tahapan hetenomi, yaitu tahapan nilai berpotensial yang dikembangkan melalui aturan dan kedisiplinan. Ketiga, tahapan sosionomi yaitu tahap nilai berkembang di tengah-tengah teman sebaya dan masyarakatnya. Keempat, tahap otonomi yaitu tahap nilai mengisi dan mengendalikan kata hati dan kemauan bebasnya tanpa mendapatkan tekanan lingkungan.

C.  Pendekatan Dalam Pendidikan Nilai
Uraian tentang pendekatan-pendekatan pendidikan nilai dalam pembahasan berikut akan didasarkan pada pendekatan-pendekatan seperti yang telah dikaji dan dirumuskan tipologinya dengan jelas oleh superka[7].
a.    Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang member penekanan pada penanaman nilai-nilai social dalam diri siswa. Menurut superka, tujuan pendekatan nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nila-nilai sosial tertentu oleh siswa. Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan.
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran ini menurut pendekatan ini antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negative, simulasi, permainan peran dan lain-lain.
Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritikan dalam berbagai literatur barat yang ditunjukkan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipanadang indokrtinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrsi. Pendekatan ini mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan barat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh superka, disadari atau tidak disadari pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam melaksanakan program-program pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Proses pendidikannya harus bertitik tolak pada ajaran atau nilai-nilai tersebut.   


b.   Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitifdan perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa unutuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut perkembangan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju tingkat yang kebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk berdiskusi alasan-alasanya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral.
Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilemma moral, dengan menggunakan metode diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kodisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilemma, baik dilemma hipotetikal maupun dilemma faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik. Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilemma. Diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya.
Tingkatan-tingkatan perkembangan moral menurut kholberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusiaan universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik dan otonomi lebih baik dari pada heretomi. Tahap-tahap perkembangan moral diperinci dengan penjelasan sebagai berikut:
Tahapan “preconventional/premoral” (dalam tahapan ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial).
Tingkat 1: moralitas hetenomus. Dalam tingkatperkembangan ini moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat yang bersifat fisik.
Tingkat  2: moralitas individudan timbal balik. Seseorang mulai sadar dengan tujuan dan keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dengan memperhatikan juga kepentingan orang lain.
Tahapan “conventional”. (dalam tahapan ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedkikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya).
Tingkat 3: moralitas harapan saling individu. kriteria baik atau buruknya suatu perbuatan dalam tingkatan ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan saling mempercayai.
Tingkat 4: moralitas system social dan kata hati. Sesuatu perbuatan dinilai baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat.
Tahapan “posconventional
Tahap 5: tingkat trasisi. Seseorang belum sampai pada tingkat “posconventional” yang sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau salah bersifat personal dan subjektif dan tidak memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu keputusan moral.
Tahap 6: moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. kriteria moralitas dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai demham norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Tingkat 7: moralitas yang didasrkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Ukuran benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis, konsisten dan berifat universal.
 Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan disekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini jadi menarik. Penggunanya dapat menghidupkan suasana kelas.
Pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya seperti di kemukakan oleh Hersh[8], pendekatan ini menampilkan bias budaya barat. Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal. Dalam proses pendidikan dan pengajaran, pendekatan ini jugatidak mementingkan kriteria benar atau salah untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau pertimbangan dari moral. Walaupun pendekatan ini mengandung kelemahan-kelemahan dalam segi-segi tertentu, namun seperti yang dijelaskan oleh Ryan dan lictona[9], teori ini telah memberi sumbangan berharga bagi perkembangan pendidikan nilai.

c.    Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis nilai (value analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yeng berhubungan nilai-nilai sosial. Ada dua tujuan utama pendidikan nilai menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kelompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan perpustakaan, penyelidikan lapangan dan diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional.
Enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini[10]. Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam lengkah dan lengkah tersebut yaitu:
Langkah analisis nilai
Tugas penyelesaian masalah
1.    Mengidenifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait
1.  Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait
2.    Mengumpulkan fakta yang berkaitan

2.      Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan
3.    Menguji kebenaran fakta yang berkaitan

3.      Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang terkait
4.    Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan

4.      Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan
5.    Merumuskan putusan moral sementara

5.      Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementar
6.    Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan

6.      Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima
Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan metoda pengajaran yang digunakan seperti yang telah dihelaskan oleh superka, pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta prilaku.

d.    Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan kalrifikasi nilai (value clarification approach) memberikan penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai orang lain. Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara bersama-sama kemampuan rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai dan pola tingkah laku mereka sendiri.
Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil dan lain-lain[11].
Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses pada table dibawah.
Pertama, memilih
1)   Dengan bebas memilih
2)   Dari berbagai alternatif
3)   Setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibat
Kedua, menghargai
4)   Merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya
5)   Mau mengakui pilihannya didepan umum
Ketiga, bertindak
6)   Berbuat sesuai dengan pilihanya
7)   Diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup
Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai dan bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri. Metoda pengajarannya juga sangat fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang ditentukan. Sama halnya dengan pendekatan kognitif, pendekatan ini juga memiliki kelemahan yang menampilkan bias budaya barat. Dalam pendekatan ini, kriteria benar atau salah sangat relative, karena sangat mementingkan nilai perseorangan.

e.    Pendekatan Pelajaran Berbuat
Pendekatan belajar berbuat (action learning approach) member penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Ada dua tujuan utama pendidikan nilai berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu dan sosial dalam pergaulan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat,yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
Metoda-metoda pendekatan lain yang digunakan dalam pendekatan pembelajaran berbuat adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan disekolah atau dimasyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara sesama.
Kelemahan dalam pendekatan ini menurut Elias sukar dijalankan. Menurut beliau, sebagian dari program-program yang dikembangkan oleh newmann dapat digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan.
Menurut hemat saya dari semua pendekatan memiliki kelebihan dan kekuranganya, tapi ada pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai di Indonesia yaitu pendekatan penanaman nilai (inculcation approach). Karena berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai.

D.  Implementasi Pendidikan Nilai Dalam Keterpaduan Pembelajaran
Menurut cohen, manion dan brand[12], terdapat tiga kemungkinan variasi pembelajaran terpadu yang berkenaan dengan pendidikan yang dilaksanakan dalam suasana pendidikan progresif yaitu kurikulum terpadu (integrated curriculum), hari terpadu (integrated day), dan pembelajaran terpadu (intergrated learning). Kurikulum terpadu adalah kegiatan menata keterpaduan  berbagai materi mata pelajaran melalui suatu tema lintas bidang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna sehingga batas antara berbagai bidang  studi tidaklah ketat atau boleh dikatakan tidak ada. Hari terpadu berupa perancangan kegiatan siswa dari sesuatu kelas pada hari tertentu untuk mempelajari atau mengerjakan berbagai kegiatan sesuai dengan minat mereka. Sementar itu, pembelajaran terpadu menunjuk pada kegiatan belajar yang terorganisasikan secara lebih terstuktur yang bertolak pada tema-tema tertentu atau pelajaran tertentu sebagai titik pusatnya (center core/center of interst).
Lebih lanjut,  model-model pembelajaran terpadu yang mungkin dapat diadaptasi, seperti diidentifikasikan oleh fogarty, adalah:
1.      Fragmentasi (Suatu disiplin yang berbeda dan terpisah dikembangkan merupakan suatu kawasan dari suatu mata pelajaran).
2.      Koneksi (isi mata pelajaran dihubungkan secara tegas)
3.      Sarang (guru menargetkan variasi keterampilan dari setiap mata pelajaran)
4.      Rangkaian/urutan (topic atau unit pembelajaran disusun dan diurutkan selaras dengan yang lain)
5.      Patungan (perencanaan dan pembelajaran menyatu dalam dua disiplin yang gagasannya muncul saling mengisi sebagai suatu sistem).
6.      Jala-jala (tema/topic yang bercabang ditautkan kedalam kurikulum)
7.      Untaian simpul (pendekatan metakurikuler menjalin keterampilan berpikir, social, intelegensi, teknik dan keterampilan belajar melalui variasi disiplin)
8.      Integrasi (pendekatan interdisipliner memasangkan antara mata pelajaran dengan beberapa tim guru dalam model integrasi riil)
9.      Peleburan ( suatu disiplin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keahliannya).
10.  Jaringan (pembelajaran menjaring semua melalui pandangan keahliannya dan membuat jaringan hubungan internal mengarah ke jaringan eksternal dari keahliannya yang berkaitan dengan lapangan)[13].



BAB III
PENUTUPAN

Kesimpulan
Manusia adalah makhluk multimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Biasanya para ilmuan melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohanianya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dann politik.
Menurut saya tujuan dari pendidikan itu adalah memanusiakan manusia muda, yang membentuk insan kamil atau manusia seutuhnya. Dan terdapat prinsip-prinsip pembelajaran Nilai seperti yang telah dijelaskan tadi diatas.
Adapun pendekatan dalam pendidikan nilai yaitu pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai dan pendekatan belajar berbuat.
Menurut hemat saya dari semua pendekatan memiliki kelebihan dan kekuranganya, tapi ada pendekatan yang paling tepat digunakan dalam pelaksanaan pendidikan nilai di Indonesia yaitu pendekatan penanaman nilai (inculcation approach). Karena berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai.












DAFTAR PUSTAKA
N. Drikarya. Percikan filsafat. Jakarta: PT. pembangunan.
Zaim Elmubarok. Membumikan pendidikan nilai.2009. Alfabeta. 
Howard Gardner. 1983. France of mind: the theory of multiple intelligence. New York: basic book.
Djahiri, Kosasih. 1982. Menuluri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral. Bandung. LPPMP.
Superka, D.P. 1973. Atypology of valuing theories and value education approaches. Doctor of education Dissertation. University of California, Berkeley.
Norman J bull. 1969. Moral judgement from childhood to adolensense. London:routledge&kegan paul.
Superka, D.P., Ahrens, C. Hedstrom, J.E., Ford, L.J & Johson, P.L. 1976. Values education sourcebook. Colorado: social science Education Consortium, Inc.
Hers. Richard H. et al. 1980. Model of Moral Education: An Appraisal. New York: Longman Inc.
Lictona, T. 1987. Character development in the family. Dlm. Ryan, K. & Mclean, G.F. Character development in schools and beyond: 253-273. New York: Preager.
Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
Raths, L.E., Harmin, M. & simon, S.B. 1978. Values and teaching: working with values in the classroom. Second Edition. Colombus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Brand, SR. (ed). 1991. Integrating the Curriculum: Educational Leadership. Journal of ASCD, Vo. 49 No. 2.
Rachman, Maman. 1999. Values Education Models for Enhancing Good Citizenship in community civic Education (Action Research at Elemantary School in Central Java. Makalah pada Conference on civic Education (CICED). Bandung: CICED Bandung.



[1] N. Drikarya. Percikan filsafat. Jakarta: PT. pembangunan.
[2] Zaim Elmubarok. Membumikan pendidikan nilai.2009. Alfabeta  hal: 20
[3] Howard Gardner. 1983. France of mind: the theory of multiple intelligence. New York: basic book
[4] Djahiri, Kosasih. 1982. Menuluri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai Moral. Bandung. LPPMP.
[5]  Superka, D.P. 1973. Atypology of valuing theories and value education approaches. Doctor of education Dissertation. University of California, Berkeley.
[6] Norman J bull. 1969. Moral judgement from childhood to adolensense. London:routledge&kegan paul.
[7] Superka, D.P., Ahrens, C. Hedstrom, J.E., Ford, L.J & Johson, P.L. 1976. Values education sourcebook. Colorado: social science Education Consortium, Inc
[8] Hers. Richard H. et al. 1980. Model of Moral Education: An Appraisal. New York: Longman Inc.
[9] Lictona, T. 1987. Character development in the family. Dlm. Ryan, K. & Mclean, G.F. Character development in schools and beyond: 253-273. New York: Preager.
[10] Elias, J.J. 1989. Moral Education: Secular and Religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
[11] Raths, L.E., Harmin, M. & simon, S.B. 1978. Values and teaching: working with values in the classroom. Second Edition. Colombus: Charles E. Merrill Publishing Company.
[12] Brand, SR. (ed). 1991. Integrating the Curriculum: Educational Leadership. Journal of ASCD, Vo. 49 No. 2.
[13] Rachman, Maman. 1999. Values Education Models for Enhancing Good Citizenship in community civic Education (Action Research at Elemantary School in Central Java. Makalah pada Conference on civic Education (CICED). Bandung: CICED Bandung.